Jakarta - PSSI membantah keras mengarang surat teguran dari FIFA hanya karena tata bahasa Inggris dalam surat itu dinilai buruk. Menurut Sekjen Nugraha Besoes, konyol jika PSSI melakukan hal itu.
Surat FIFA tertanggal 11 Januari 2011 telah tersebar di internet dan menjadi pembahasan berbagai forum diskusi. Terdapat beberapa kesalahan tata bahasa penulisan di surat itu, sehingga menimbulkan sejumlah pertanyaan, termasuk bagaimana mungkin organisasi sebesar FIFA melakukan kesalahan bahasa.
Kang Nug -- panggilan Nugraha Besoes -- menolak dengan tegas apabila pihaknya diduga mengada-ada soal surat tersebut.
"Biar saja komentar orang seperti apapun. PSSI tidak akan gegebah memanipulasi masalah penting dalam mempertahankan marwah organisasi. Mana mungkin kita mengarang surat sendiri yang penting. Itu namanya konyol," demikian Kang Nug melalui pesan SMS kepada detiksport, Sabtu (15/1) pagi.
"Kalau soal bahasa, itu hak mereka untuk menulisnya. Kalau kurang yakin, tanya sama public relation FIFA di sana, atau kantor sekretaris jenderal FIFA. PSSI tidak mengada-ada.
"Makin sering orang membicarakan masalah surat atau kegiatan, makin memperjelas ketidaktahuan orang tentang apa dan bagaimana FIFA. Mereka masih harus belajar lagi tentang organisasi, aturan, mekanisme, prosedur dan administrasi FIFA.
“Kasihan saya melihat orang seperti itu, termasuk rekan pers. Kalau tidak yakin cari info yang benar, jangan hanya memuat omongan orang yang sifatnya menyalahkan. Makin tersudut orang, biasanya makin nekat.
Showing posts with label lpi. Show all posts
Showing posts with label lpi. Show all posts
Saturday, January 15, 2011
Thursday, January 13, 2011
Harusnya PSSI dan LPI Duduk Bersama
Jakarta - Konflik yang menajam antara PSSI dengan Liga Primer Indonesia (LPI) mengundang keprihatinan dari suporter sepakbola Indonesia. Suporter berharap kedua belah pihak duduk bersama.
Di mata Arista Budiyono, salah satu aktivis suporter sepakbola nasional, konflik yang terjadi antara PSSI selaku induk sepakbola Indonesia dan penyelenggara Liga Super Indonesia (LSI) dengan LPI berakibat merugikan.
"Dari sisi suporter, makin terkotak-kotak. Ketika suporter Persebaya (1927) mati-matian membela LPI, maka dia akan makin bermusuhan dengan suporter Persija Jakarta yang ada di LSI. Itu contohnya," kata Arista saat berbincang dengan detikSport, Jumat (14/1/2011).
"Kasihan sepakbola itu sendiri, ketika potensi-potensi muda tidak bisa masuk tim nasional karena angkuhnya kedua belah pihak. Pemain dikorbankan karena egoisnya mereka yang di atas," timpal Aris, sapaan Arista.
Aris berharap PSSI dan LPI bisa duduk dalam satu forum dan berdiskusi, bukannya saling serang dan saling menghindar apabila ada rencana untuk mempertemukan kedua belah pihak itu.
"Kalau bisa duduk bareng, bagaimana caranya biar LPI diakui PSSI. Yang terjadi, kedua belah pihak satu sama lainnya tidak mau ditemukan," kata Aris menyesal.
"Enaknya ada yang menengahi. Tapi siapa juga ya? Kalau Menpora (Andi Mallarangeng), terlalu pro LPI. Harusnya ada juga stakeholder olahraga nasional, seperti KONI dan Menpora," usulnya.
Mengenai keberadaan dua kompetisi ini, Aris yakin nantinya akan terjadi seleksi alam di mana yang lebih baik akan lebih diminati dan yang lebih buruk bakal ditinggalkan.
Namun Aris mewanti-wanti agar kompetisi sepakbola tidak dijadikan alat politik. Kompetisi seharusnya diadakan demi perkembangan sepakbola itu sendiri, demi pembinaan dan ujungnya demi prestasi.
"Buat masyarakat, jadi banyak alternatif. Cuma seharusnya yang fair, jangan saling menjegal," cetus pria asal Solo yang gigih untuk mendamaikan
kelompok-kelompok suporter di Indonesia itu.
"Seperti LPI itu niatnya tidak untuk membangun kompetisi, LPI itu karena sakit hati. LPI sebenarnya bagus secara konsep, tapi tidak udah ditambahi intrik-intrik politik lah," pinta Aris.
"Harusnya di antara kedua belah pihak, ada yang dinegosiasikan. PSSI jangan ngotot, tapi LPI juga harus berusaha permisi," pungkasnya.
Di mata Arista Budiyono, salah satu aktivis suporter sepakbola nasional, konflik yang terjadi antara PSSI selaku induk sepakbola Indonesia dan penyelenggara Liga Super Indonesia (LSI) dengan LPI berakibat merugikan.
"Dari sisi suporter, makin terkotak-kotak. Ketika suporter Persebaya (1927) mati-matian membela LPI, maka dia akan makin bermusuhan dengan suporter Persija Jakarta yang ada di LSI. Itu contohnya," kata Arista saat berbincang dengan detikSport, Jumat (14/1/2011).
"Kasihan sepakbola itu sendiri, ketika potensi-potensi muda tidak bisa masuk tim nasional karena angkuhnya kedua belah pihak. Pemain dikorbankan karena egoisnya mereka yang di atas," timpal Aris, sapaan Arista.
Aris berharap PSSI dan LPI bisa duduk dalam satu forum dan berdiskusi, bukannya saling serang dan saling menghindar apabila ada rencana untuk mempertemukan kedua belah pihak itu.
"Kalau bisa duduk bareng, bagaimana caranya biar LPI diakui PSSI. Yang terjadi, kedua belah pihak satu sama lainnya tidak mau ditemukan," kata Aris menyesal.
"Enaknya ada yang menengahi. Tapi siapa juga ya? Kalau Menpora (Andi Mallarangeng), terlalu pro LPI. Harusnya ada juga stakeholder olahraga nasional, seperti KONI dan Menpora," usulnya.
Mengenai keberadaan dua kompetisi ini, Aris yakin nantinya akan terjadi seleksi alam di mana yang lebih baik akan lebih diminati dan yang lebih buruk bakal ditinggalkan.
Namun Aris mewanti-wanti agar kompetisi sepakbola tidak dijadikan alat politik. Kompetisi seharusnya diadakan demi perkembangan sepakbola itu sendiri, demi pembinaan dan ujungnya demi prestasi.
"Buat masyarakat, jadi banyak alternatif. Cuma seharusnya yang fair, jangan saling menjegal," cetus pria asal Solo yang gigih untuk mendamaikan
kelompok-kelompok suporter di Indonesia itu.
"Seperti LPI itu niatnya tidak untuk membangun kompetisi, LPI itu karena sakit hati. LPI sebenarnya bagus secara konsep, tapi tidak udah ditambahi intrik-intrik politik lah," pinta Aris.
"Harusnya di antara kedua belah pihak, ada yang dinegosiasikan. PSSI jangan ngotot, tapi LPI juga harus berusaha permisi," pungkasnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)